Senin, 11 Juli 2016

Tere.Teresia

“Buug!” Tere menghempaskan tubuhnya ke atas kasur sekeras-kerasnya. Dia memandangi setiap sudut kamarnya, langit-langit kamar, dan perabot-perabot kamar, tak terkecuali foto di meja samping dirinya. Diambilnya foto itu . Dipandangnya lekat-lekat . Fotonya bersama … Ah, tak mau dia mengingatnya lagi. Ingin dia melupakannya, tapi tak bisa, sosok itu telah mengisi hari-harinya kini, dengan kebahagiaan, kesedihan, dan sosok itulah yang membuatnya begini sekarang. Kecewa. Entah sudah berapa kali dia kecewa karenanya. Entah sudah berapa kali dia menangis untuknya. Yang dulu hari-harinya penuh kebahagiaan, kini tak satupun senyuman dari bibirnya yang muncul. Sekarang, tere menangis sekeras-kerasnya, tapi tak ada yang mendengar. Dia menutup wajahnya dengan bantal, tak ada yang tahu dia menangis, dan tak ada yang mau tahu. Dia baru sadar, bantal yang ada dipeluknya, pemberian sosok itu. Tuhan…. Kenapa semua yang ada ddidirinya mengingatkannya pada sosok itu? Ingin dia terlepas darinya. Tapi sekali lagi, tak bisa.
Disaat seperti ini hanya ada satu teman yang selalu ada untuknya. Cynthia. Ya, Cynthia, hanya dia yang bisa menemani Tere sekarang. Hanya dia satu-satunya teman yang mengerti keadaannya. Dengan cepat Tere mengambil gagang telepon, memencet tombol yang sudah dia hafal di luar kepala. Bunyi “Tut” tiga kali , dan muncul suara dari seberang.
“Halo” sapa Cynthia.
“Halo Cyn.. bisa ke tempat biasa nggak?”
“Tere… ada apa?
“Nanti aku cerita”
“Oke. Aku berangkat sekarang.”
“Thanks Cyn..”
Telepon terputus.
Segera ia mengambil kunci mobil di loker bertuliskan “I’m hopeless”. Menuju garasi mobil, duduk di dalam mobil jazz pemberian orang terkasih di ultah-nya ke-17. Menghidupkan mesin. Tere langsung meluncur ke tempat biasa dia janjian dengan Cynthia. Eits, sebelumnya dia berhenti di depan rumah mewah milik orangtuanya. Memandangnya cukup lama. Rumah mewah yang hanya membuat kepedihannya makin lebar. Tak tahan dia, Tere langsung berangkat menuju tempat Cynthia menunggu.
Di dalam mobil, kembali dia mengenang masa-masa kekecewaan itu terjadi.
“Tere, kamu bisa ngerti nggak! Kamu itu sudah dewasa. Seharusnya kamu ngerti apa yang terjadi sama kita. Ini untuk kebaikanmu juga!” kata sosok itu.
“Tapi Tere nggak suka!”
Tamparan mendarat di pipi kirinya. Dan sosok itu langsung pergi begitu saja. Tere menangis. Kini di mobil itu, Tere terisak. Hingga dadanya sesak. Perih. Saat dadanya bergemuruh, tiba-tiba dia melihat sosok itu. Sosok yang membuatnya perih. Sedang menyeberang jalan. Melintas di depan mobilnya. Menggandeng seorang gadis. Sekilas gadis melirik dan tersenyum ke arahnya. Tere membuang muka. Hatinya sakit. Dia kenal gadis itu.
“Cynthia… ayah… jadi ..”
Tere tak dapat menerima kenyataan. Sosok yang menyakitinya, tak lain adalah ayahnya. Dan gadis yang bersamanya adalah sahabatnya sendiri. Cynthia. Gadis simpanan ayahnya. Gadis yang telah membuat hidupnya hancur. Gadis itu juga yang telah membunuh ibunya secara perlahan.  Kini terbongkar sudah. Baginya, ayah adalah sosok yang memberikan dia kebahagiaan bersama ibunya. Tapi itu dulu. Sejak kehadiran gadis simpanan yang tidak dia tahu, hidupnya berubah total. Ibunya tak kuat menanggung beban, dan bunuh diri. Ayahnya tak pernah memperhatikannya lagi sejak ada dia. Gadis jahanam itu. Sekarang  Tere tau. Semuanya. Tere mencoba tak memerdulikannya lagi. Meluncur lebih cepat. Jazz itu oleng. Tak seimbang. Kepalanya pusing. Dadanya perih. Buram. Putih.dan Tere tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Hitam. Semuanya hitam. Hingga dia tak sadarkan diri untuk selamanya.
–TAMAT—
oleh: Cintri Anjani

0 komentar:

Posting Komentar

 

Cerita Cintri Template by Ipietoon Cute Blog Design